Jika dulu Bandung dikenal dengan jargon “Bandung Kota Kembang”, maka tak ada salahnya untuk memperbaruinya sesuai dengan konteks waktu terkini. Sepertinya, “Bandung Kota Kedai Kopi” cukup pantas menggantikan jargon lama, mengingat berbagai kedai kopi dapat dengan mudah ditemui di setiap sudut kota.
Menjamurnya kedai kopi di Kota Bandung sepertinya banyak terpengaruh oleh film Filosofi Kopi yang diadaptasi dari novel karya Dewi Lestari dengan judul yang sama. Selain itu, populernya Es Kopi Susu yang diinisiasi oleh Toko Kopi Tuku juga turut menyulut antusias warga Bandung untuk mulai menikmati kopi.
Sayangnya, sebagai pelanggan & penggemar kopi, tidak banyak kedai kopi yang mampu memuaskan ekspektasi saya. Banyak kedai kopi yang terkesan tidak serius, seolah-olah dibuat dalam rangka memuaskan animo masyarakat di Kota Bandung. Beberapa kedai kopi juga lebih mengandalkan tempat yang nyaman dan koneksi internet yang cepat dibanding fokus pada kualitas dan rasa dari produk utama mereka, yaitu kopi.
Situasi di atas membuat saya kebingungan, karena memunculkan standar yang beragam mengenai kedai kopi. Misalnya, perspektif ‘kedai kopi yang enak’ kini memiliki dasar penilaian yang berbeda. Apakah kopinya yang enak? Tempatnya yang nyaman? Harganya yang terjangkau? Berbicara tentang kedai kopi kini tidak melulu tentang rasa dari kopinya saja.
Meskipun begitu, tidak sedikit pula kedai kopi yang memiliki komitmen yang konsisten terhadap produk kopinya. Salah satunya adalah Contou Coffee, sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan Sunda no. 61, Bandung. Saya mendapat kesempatan untuk berbincang mengenai Contou Coffee & kopi dengan penggagasnya, Dio Prima. Dio memiliki kepedulian yang sama mengenai kedai kopi yang semakin menjamur.
Ada satu pernyataan Dio yang cukup ‘menyentil’ saya, “Menurut aing, nggak ada tuh kopi yang enak atau nggak enak. Kopi tuh ya sesuai selera aja”. Ya, memang pernyataan Dio cukup relevan dengan pengalaman saya. Kopi yang saya suka tidak selalu sesuai dengan selera teman-teman saya. Ketidaksetujuan itu tentu bukan perkara benar atau salah, tapi, sekali lagi, hanya merupakan masalah selera.
Lalu, saya kembali berpikir — jika begitu, apa, sih yang membuat saya dan pelanggan setia Contou Coffee begitu betah mengunjungi kedai kopi ini? Jawabannya adalah rasa kopi yang konsisten, tapi tetap dapat disesuaikan dengan selera pelanggan. Itu baru satu hal saja. Belum lagi berbicara tentang pelayanan, yang menurut saya, premium. Barista di Contou Coffee terbuka dengan request dari pelanggan, apakah kita ingin rasa kopinya kuat atau tipis, manis atau asam, dan lain sebagainya. Selain itu, pelanggan juga biasanya diminta feedback mengenai kopi pesanannya, yang baru saya ketahui bahwa kemudian itu menjadi acuan bagi performa mereka.
Sebagai kedai kopi yang tidak menyediakan koneksi internet, Contou Coffee sepertinya harus bersaing ekstra dengan kedai kopi yang sengaja didesain coworking space. Namun, bagi saya, itulah justru kelebihan Contou Coffee di antara kedai kopi lainnya. Contou Coffee memilih untuk fokus pada kopi sebagai produk utamanya, yang didukung oleh kualitas Barista yang prima, pelayanan yang premium, dan suasana nyaman yang mampu membangun keintiman komunikasi para pelanggannya.
Bener sih, kopi enak itu tergantung selera masing-masing. Ada yang udah seneng dengan minum kopi instant, ada yang suka banget sama starbucks, ada yang harus minum kopi item di cafe tertentu. Semua masing-masing tergantung selera. 😀
LikeLike
Terima kasih sudah berkunjung ke sini, kak Chika! Iyaa, dan makin kesini selera kita semakin dimanjakan dengan beragam pilihan yang tersedia. 😉
LikeLike
Ya ampun ini komen aku setahun yang lalu xD
LikeLike
Hihi baru buka lagi blog lagi kak😂
LikeLike