Sering banget gue merasa harus menjelaskan motif di balik apa yang gue lakukan, bahkan ketika hal yang gue lakukan adalah hal yang biasa-biasa aja. Seperti memasak. Bagi gue, kalimat yang bilang “istri yang baik adalah istri yang bisa memasak” adalah kalimat yang terdengar menyebalkan. Memasak adalah keharusan bagi perempuan, bukan karena dianggap sebagai basic survival skill, tapi karena perempuan dianggap harus mampu melayani keluarga; melayani suami.
Manifestasi dari belajar sejak kelas 1 SD
Lebih menyebalkan lagi ketika kemampuan memasak yang kami miliki tidak dianggap sebagai ‘hasil’ dari belajar selama bertahun-tahun. Seolah-olah tidak boleh ada ruang bagi kami untuk gagal, karena kemampuan memasak dianggap kemampuan lahiriah bagi perempuan. Perempuan yang tidak bisa dan tidak mau memasak, cepat atau lambat, mendapat cibiran. Keperempuanan seorang perempuan jadinya hanya didefinisikan dari masakannya (atau keterampilannya dalam mencuci dan membersihkan rumah).
Sialnya (atau untungnya), gue doyan banget masak. Kemampuan gue memasak, anehnya, seringkali menempatkan gue pada posisi yang tidak enak, seperti komentar “Istri idaman nih, jago masak…” atau komentar yang bersebrangan seperti, “Ih, domestik banget ya…”. Komentar kedua tidak selalu muncul dalam ungkapan langsung, tapi tetap menyebalkan karena menganggap apa yang gue kerjakan (yang memang merupakan kegiatan domestik) sebagai bentuk kekerasan. Gue mengalami kekerasan hanya karena gue memasak dan memasak adalah pekerjaan domestik.
Kalau Sara Ahmed bilang,
You are taught to be careful: to be full of care as to become anxious about the potential to be broken. You begin to learn that being careful, not having things like that happen to you, is a way of avoiding becoming damaged. It is for your own good. And you sense the consequence: if something happens, you have failed to prevent it. You feel bad in anticipation of your own failure. You are learning, too, to accept that potential for violence as imminent, and to manage yourself as a way of managing the consequences.
(Ahmed 2017, 24).
Mungkin itulah kenapa, beberapa waktu ini ada rasa tidak nyaman ketika gue memasak — dan hal itu membuat gue merasa punya kepentingan untuk terus mengklarifikasi: kenapa dan buat apa gue memasak.
Lumayan capek sih. Tapi gue gak akan berenti memasak. Belum ada rencana ke sana.
Rujukan: Ahmed, S. (2017). Living a feminist life.